“Cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik pelindung”
(Al Imran: 173)
“Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’mannashiir,” begitu zikir yang setiap hari terdengar lirih menjelang syuruq.
“Tangi tha nduk, bocah wadon ..,” ibu mengusap manja dahi Marwah yang masih tertidur di atas sajadah usai salat Subuh tadi.
“Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’mannashiir, ” zikir yang tak bosan ibu lantunkan di sela rutinitasnya.
“Astaghfirullaahal’azhiim..Menenga……!”
Tersentak dengan suara bapak, zikir berhenti seketika.
“Aku wis sabar ngadepi awakmu, kurang sabar apa Bapak iki, Le..! Kowe dituturi ora isa!”
“Budhala! Minggat! Ndang minggat!”
Rupanya, amarah bapak sudah tidak bisa dibendung. Kali ini, apa lagi ulah mas Harun hingga membuat emosi bapak meradang. Jika seperti ini, ibu tidak berani ikut bicara, apalagi mencoba meredam. Ibu lebih memilih meracik segelas kopi untuk bapak. Setelah jadi, baru ibu suguhkan di meja bapak. Ibu tahu betul karakter bapak saat marah.
Suasana hening.
Aku tahu, ibu menyembunyikan air mata. Berulang kali ia menyekanya. Sesekali nafas berat tergambar dari naik turun dadanya sembari menyiapkan sarapan untuk seisi rumah. Nafasku pun ikut berat. Aku intip dari bilik bambu, tempat paling nyaman untuk nderes Alquran, lima meter lebih sedikit dari pintu dapur rumah. Gerimis pun ikut ambil peran, mewakili kesenduan hati akibat drama pagi ini.
***
Di bawah cakrawala senja buta, suasana terasa hambar. Gerimis masih membasahi rerumputan. Sesekali kilau memantul dari butiran air langit menyambangi semak belukar yang belum sempat terurus. Ya, suasana memang hambar. Seakan semua berlalu bersama lantangnya suara bapak yang menyuruh mas Harun minggat, tadi pagi. Bahkan mungkin separuh jiwa kami didera cemas, terlebih ibu, karena mas Harun tak terlihat batang hidungnya sejak pertengkaran tadi. Sepertinya mas Harun benar-benar pergi dari rumah.
“Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’mannashirr…”
Suara zikir mulai mengalun lagi, berulang-ulang. Kali ini bukan hanya suara ibu melainkan suara Marwah. Marwah, adik gadisku yang memiliki keterbelakangan mental. Perilaku kekanakannya tidak konsisten dengan usianya. Kondisi Marwah yang demikian, menuntut ibu untuk memberi perhatian lebih padanya. Di usia lima belas tahun, Marwah masih minta ditemani ibu jika sudah mulai mengantuk. Bersandar di dada ibu, minta diusap keningnya hingga tertidur.
Zikir yang sama tak bosan ibu lantunkan. Tapi ini terdengar berbeda. Suara parau ibu, bukan sekedar lelah fisik, tapi hati dan pikiran, namun tetap menyejukkan.
“Hasbunallaah.. wa ni’mal wa..kiil..,’ penjiwaannya terhadap lirik zikir begitu dalam.
Temponya semakin tak beraturan, “Ni’mal mawla wa ni’man…”
Nafas beratnya menjadi jedah, “ Nashiir…’
Aku ikut semendal mendengarnya. Ibu melanjutkan zikirnya hingga Marwah terlelap dalam dekapan.
“Bu, sios jama’ah isya’ mboten?” tanyaku, sambil memperhatikan semburat merah di tulang pipinya, serasa hangat, sehangat rona perjalanan hidupnya.
“Sida, Nduk,” sambil merebahkan Marwah di kasur.
Mataku terus jelalatan hingga akhirnya berlabuh di keningnya, fokus pada guratan di dahinya. Ternyata ibu semakin sepuh, tapi beban yang menyarat, tak mematahkan semangat hidupnya yang kian mengarat.
“Dalem rantos dateng musala nggih, Buk..”
Kami salat Isya hanya berdua. Kebetulan bapak sedang mengajar di pesantren. Soal mas Harun, kami sudah tahu dia njujug kemana setelah bertengkar dengan bapak. Pasti di rumah Gus Mad, sebutan kami untuk pak lik yang selalu bisa membuat mas Harun pulang ke rumah dengan tenang setiap kali lepas bertengkar dengan bapak.
Ba’da isya, kami rutin berkumpul, sekedar mendengar nasihat dan pengajaran hidup dari ibu bapak. Kebersamaan yang selalu ditunggu dan dirindu. Sayangnya, mas Harun dan Marwah tidak ikut. Kalau bapak, memang sedang ada jadwal mengajar di pesantren.
“Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’mannashiir,” ibu membenamkan lantunan zikir dalam mata terpejam.
Aku lihat titik air mata bertengger di sudut matanya. Lalu jatuhlah titik air mata itu, mengaliri garis hidungnya yang nyaris tak ada hambatan, lalu meresap di sela-sela bibirnya yang masih melantun zikir. Aku bisa memaknai semuanya.
Tak puas hanya melihatnya, ibu meraihku, kupeluk erat tubuhnya yang semakin ringkih. Air mataku pun ikut jatuh. Baru kali ini, zikir yang kulantunkan merasuk dalam jiwa, menyusup relung hati, dan mengakar di sanubari. Sungguh, kesyahduan ini adalah anugerah Ilahi.
“Nduk, Asiyah,” begitu lembut ibu memanggil namaku.
“Nggih, Bu.” kulepas tubuh ibu, setengah ikhlas.
Kami sama-sama menyeka air mata.
Ibu mulai berpetuah.
“Nduk, zikir yang sering kita senandungkan kuwi nduweni makna sing jero banget.”
Aku mendengar sepenuh hati, adem rasanya ketika ibu membuka pembicaraan dengan suara khasnya. Lembut dan hangat.
“Gusti Allah kuwi sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Bagaimanapun keadaan, semua sudah digariskan. Himpitan problematika kehidupan dunia yang menyesakkan, dirundung duka dan penderitaan, serta kecamuk permasalahan dan kesulitan, kowe kudu iso nerima sabar lan pasrah. Tawakkal lan ikhlas menyerahkan penuh pada Allah. InsyaAllah, segala urusanmu dimudahkan, segala bebanmu diringankan.,” sesekali kedua tangan ibu mengelus dadaku dengan penuh harap.
“ Gusti Allah maringi beban mestine ana takerane, miturut kabisane, supaya manungsa iso duwe pikiran mateng,” ibu seringkali bicara seperti ini.
Ah…, sungguh ibu adalah guru spiritual yang sangat luar biasa. Wanita hebat yang selalu menjaga sabar, welas, dan ikhlas. Tak hanya teori, tapi sungguh tergambar dalam amaliah kesehariannya. Aku nilai dia sembilan koma delapan.
“Aja adoh saka Alquran, aja adoh saka zikir. Ujian, cobaan, kerasa luwih gampang dilakoni,” begitulah ibu yang selalu bisa menyejukkan hati.
Ternyata ini kuncinya hingga ibu menjadi perempuan hebat.
Ada lagi, satu kisah yang baru ibu ceritakan hari ini.
Ibu adalah wanita yang dinikahi bapak dua puluh lima tahun lalu. Bapak menikahi ibu, janda beranak satu. Ya, ibu sudah memiliki mas Harun yang berumur tujuh tahun waktu itu. Dua tahun kemudian, aku lahir, anak perempuan pertama, disusul Marwah, anak perempuan kedua sepuluh tahun kemudian.
Tapi, yang masih menyumpal pikiran ibu hingga saat ini adalah hubungan bapak dan mas Harun. Sepertinya doa-doa ibu agar mereka bisa akur masih belum diijabah. Perbedaan pendapat dan sudut pandang terhadap hal-hal tertentu sering memicu perdebatan panas antar keduanya. Ujung-ujungnya mas Harun pergi dari rumah untuk menyudahi perdebatan dengan bapak. Setelah tenang barulah pulang.
“Ibu masih belum menemukan akar masalah yang sebenarnya,” ungkap ibu.
“Titip bapak, mas-mu, lan Marwah ya, nduk,” ibu tersenyum simpul penuh harap.
Deg. Tiba-tiba jantung berdegub kencang. Amanah ini sungguh berat.
“Ora usah khawatir, ana Gusti Allah” ibu menutup pengajaran hidupnya malam ini.
***
Semilir angin di sepertiga malam ini, mendadak sangat dingin menusuk tulang.
Lantunan ayat suci Alquran dari surau-surau, membuat salat malamku semakin khidmat. Kulabuhkan wajahku di altar suci, berharap penuh agar Allah menakdirkan yang baik-baik untuk ibu, untuk bapak, untuk mas Harun, untuk Marwah, juga untukku.
Semakin larut dalam sujud, terbayang senyum ibu, terngiang ucapan ibu.
Allah menulis takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Untuk menemukan takdir itu, manusia harus menempuh ujian. Dan beratnya ujian sudah ditakar oleh Allah sesuai kemampuan masing-masing agar mereka tetap bisa bertahan hidup. Namun sekuat apapun perjuangan untuk bertahan, hasil akhir Allah yang menentukan. Maka teruslah bersabar dan bersyukur.
Aku tuntaskan sujudku dengan zikir, “Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’man nashiir,” sebagai penguat hati.
Tarhim. Aku mendengar lirih suara ibu melantunkan ayat-ayat Alquran.
Ibu sudah menanti di bilik bambu tempat kami biasa salat jamaah. Aku segera menyusul Marwah. Kalau bapak, pasti sudah berangkat ke masjid sejak pukul 01.00 dini hari. Mas Harun juga masih di rumah Gus Mad. Subuh kali ini kami bertiga. Ibu, aku, dan Marwah.
Selesai salat berjamaah, ibu menyandarkan tubuhnya pada dinding penyekat. Ada yang hilang. Ibu tak melantunkan zikir, tak terdengar wiridnya, tak terdengar pula doa-doanya. Kami mendekat, menepuk pundak ibu dengan pelan.
“Bu,…”
Hanya diam.
“Bu,..Ibu..”
Marwah melepaskan tasbih dari genggaman ibu.
Ibu masih bergeming. Emosiku mulai pasang surut. Terus mencoba menyadarkannya. Berharap ibu sekedar terlelap dalam tidur sementara.
“Bu,..ibu..ibu..!” semakin keras kami menggerakkan tubuhnya, semakin keras kami memanggilnya.
“Ya Allah! Ibu!…Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun… Ibu….!”
Tangis kami pecah. Ibu benar-benar terlelap. Tapi terlelap dalam tidur panjang dan tak pernah membuka matanya. Ibu sudah pergi menemui Ilahi Robbi.
Air mata kami terus mengalir deras. Sederas hujan yang tiba-tiba mengguyur kesedihan kami hingga berubah menjadi dawai rindu dan kenangan.
***
Kami semua kehilangan.
Bapak, mas Harun, dan Marwah, adalah amanah ibu untukku, perjalanan panjang yang harus kulalui hingga garis finish.
Ibu sudah berpesan.
Semoga Allah menguatkan.
Semoga Allah meringankan.
Semoga Allah memudahkan.
Ibu adalah wanita yang mampu menjadi daiyah, menyeru kembali pada manhaj Allah dengan segala nasihat bijak, perdebatan bermakna, perilaku terpuji, dan selalu bisa menemukan solusi cerdas dalam menghadapi peliknya kehidupan.
Bagiku, Ibu adalah wanita istimewa. Seluruh perjalanan hidupnya didermakan untuk orang-orang terkasih, suami dan anak-anaknya. Sungguh keberadaan ibu di tengah-tengah kami adalah anugerah yang luar biasa.
Ibu adalah wanita yang mampu menjadi teladan kesantunan, keagamaan, akhlak mulia, dan ketaatan pada suami.
Bagiku, ibu adalah bu nyaiku.
Lumajang, 29 September 2020
Alfi Syahri/Event Antologi Sukabaca Batch 4/Tema: Bu Nyai Pesantren.